Naik Gunung Turun Gunung
…Lu kira kaga’ cape? Itulah bunyi kata –
kata yang biasa anggota Mapala sering katakan. Mungkin makna dari tulisan itu
sekadar ingin mempertanyakan, “Mengapa kita tidak pernah kapok melakukan
kegiatan itu?”
Walaupun sudah jelas bakal
menguras tenaga, bikin kita lapar, bikin kita kepanasan dan kedinginan, bahkan
bisa bikin kita hipotermi, pokokke bikin kita ngaplek, tapi kita
tidak pernah jera. Ini adalah pertanyaan untuk diri kita sendiri!
Kalau ada orang yang
mempertanyakan hal tersebut, mungkin akan mengundang beragam jawaban, seperti
entah itu karena hobi, mencari kepuasan batin, karena melambangkan kegagahan, killing
time, atau pelarian.
Terlepas dari jawaban itu
semua, yang jelas ketika kita melakukan kegiatan outdoor –seperti
mendaki gunung, arung jeram, susur gua, dan panjat tebing– semua itu kita
lakukan dengan enjoy, tanpa beban. Rasa capek kita terobati oleh senda
gurau dengan saudara-saudara kita selama di perjalanan. Alangkah indah ketika
kita duduk-duduk di depan tenda di malam hari di tengah belantara ditemani
secangkir kopi wangi dan batangan rokok. Alangkah indah ketika kita masak dan
makan bersama. Alangkah indah suasana seperti itu dan itu salah satu yang
membuat kita ketagihan yang kadang membuat kita lupa dunia di luar kita.
Ada lagu yang sering kita
nyanyikan waktu kita diklat dulu,“Naik gunung turun gunung, tempuh rimba
menembus kabut, malam hari kedinginan, MAPALA tetap bertahan….”
Apa yang membuat kita
bertahan? Karena takut sama sonior..? Terus mengapa kita rela menyediakan waktu
kita untuk mengikuti diklatsar walau
sebagian besar sudah mengetahui bakal ada ‘settt…’? Terus setelah usai diklat,
kita melakukan kegiatan yang sama, ke gunung lagi, arung jeram lagi, susur gua
lagi, panjat tebing lagi. Lalu mengapa sebenarnya kita melakukan semua itu. Tak
bisa dipungkiri itulah yang dinamakan “cinta.”
Ketika kita mencintai
seseorang atau sesuatu, kita rela melakukan apa saja. Kita akan marah, malah
rela berantem ketika ada orang yang menghina dan mencemooh apa yang kita
cintai. Ya! Itulah cinta!
Kita rela memberi apa saja
untuk yang kita cintai, termasuk nyawa kita sekalipun. Seorang pendaki rela
mengobankan nyawa demi cintanya pada obsesi menapakkan kakinya di sebuah puncak
gunung, seorang rafter rela hanyut dan mempertaruhkan nyawanya demi
obsesinya menaklukkan jeram.
Tidak bisa dipungkiri bahwa
kita menjalani hidup ini pun demi cinta, cinta pada kehidupan itu sendiri,
walau kadang kehidupan itu sendiri tidak membalas cinta kita. Sehingga timbul
ungkapan “Mencintai tidak harus memiliki.” Ketika hal itu terjadi pada diri
kita, timbul pertanyaan, “Mengapa kita harus mencintai yang tidak bisa kita
miliki?”
Mencintai Sang Maha Pecinta
Mengapa kita kadang rela
mencintai sesuatu atau seseorang yang tidak membalas cinta kita? Yang tidak
bisa kita miliki? Padahal ada cinta yang selalu membalas cinta kita dan bisa
dimiliki?
Ya! Sang Pemurah, Sang
Penyayang, Sang Pencipta, Sang Maha Pecinta. Dialah yang selalu memberi dan
membalas cinta kita, walau kadang kita lupa untuk mencintainya. Dialah cinta
sejati yang bisa kita miliki sampai mati, bahkan hingga kehidupan sesudah mati.
Bahkan Dia menyatakan cinta-Nya pada kita dengan mengatakan, “Jika kamu
mendekati-Ku dengan berjalan, Aku akan mendekatimu dengan berlari.”
Itulah cinta sejati, cinta
yang selalu memberi tanpa pelu menerima. Itulah hakikat cinta. Mencintai Sang
Maha Pecinta !
“Dialah Yang menjadikan
bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah
sebagian dari rezeki-Nya. Dan, hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah)
dibangkitkan.”
(QS : Al-Mulk : 15)
(QS : Al-Mulk : 15)
Bumi sudah diciptakan,
ditaklukkan, dan dimudahkan untuk kita terus disediakan pula rezeki yang
berlimpah untuk kita. Kita diberi segalanya tanpa harus kita mengembalikan atau
membalasnya. Lalu apakah tidak layak bagi kita untuk mencintai Dia Sang Maha
Pemberi ini..?
0 komentar:
Posting Komentar